Tahun Baru 1432 H Momentum Peningkatan Takwa
Perputaran waktu terus bergulir seiring pergantian siang dan malam yang menjadi sunatullah di alam raya ini. Tanpa terasa kita telah sampai lagi ke bulan Muharam, bulan pertama dalam perhitungan kalender hijriyah. Hari ini Selasa tanggal 1 Muharam umat Muslim di seluruh dunia merayakannya, bertepatan dengan tanggal 7 Desember 2010. Di Indonesia perayaannya memang tidak semegah perayaan tahun baru Masehi. Tradisi yang sering dilakukan sebagian Muslim di beberapa daerah Indonesia adalah membaca doa awal dan akhir tahun.
Kedatangan bulan Muharram ini, dapat kita jadikan sebagai salah satu momentum, untuk kembali bertafakur dan bermuhasabah, mengevaluasi hari-hari yang telah berlalu dan merancang target-target baru untuk hari mendatang. Karena, semakin lama kita menghabiskan umur kita di dunia, berarti semakin dekat dengan kehidupan yang sesungguhnya, yaitu akhirat nan abadi. Sebagaimana firman Allah swt:
Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan hanyalah senda gurau dan permainan belaka; dan sesungguhnya negeri akhirat itu ialah kehidupan yang sebenar-benarnya; kalaulah mereka mengetahui. (QS. Al-Ankabut: 64).
Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia dengan segala gemerlapan dan keindahannya, tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kekekalan kehidupan akhirat. Dunia hanyalah panggung sandiwara dimana setiap manusia memainkan peran masing-masing untuk melihat siapa yang terbaik di antara mereka. Dan hari pembalasan itu adalah di akhirat sana, ketika setiap diri akan menerima apa yang pernah mereka usahakan di dunia.
Mari kita renungkan ungkapan Rasulullah saw suri teladan kita, ketika suatu hari beliau bangun dari tempat pembaringannya, dan Abdullah bin Mas’ud melihat bekas jalur-jalur tikar di punggungnya. Ini kerana tikar alas tidur Rasulullah saw dibuat dari daun kurma kasar. Timbullah rasa kasihan di hati Abdullah bin Mas’ud, lalu ia berkata: “Ya Rasulullah seandainya engkau perintah aku untuk mencari tikar yang lembut untukmu, maka aku akan berusaha mendapatkannya”.
Rasulullah saw bersabda: “Bagiku berada di dunia ini ibarat seorang yang berjalan di tengah panas, lalu singgah sebentar berteduh di bawah sepohon kayu yang rindang, setelah istirahat sejenak untuk menghilangkan lelah, maka dia beranjak meninggalkan pohon rindang itu dan meneruskan perjalanan”. (HR. Tirmizi)
Demikianlah Rasulullah mengumpamakan dunia ini, bahwa disini kita hanya sekedar singgah sebentar, untuk kemudian melanjutkan perjalanan yang teramat sangat panjang di akhirat. Ibnu Qayyim al-Jauziyah juga menggambarkan, bahwa lamanya perjalanan hidup yang kita lalui ibarat es yang mencair. Sungguh sangat singkat bila dibandingkan dengan keabadian yang akan kita hadapi sesudahnya. Maka sangatlah merugi apabila perjalanan hidup yang singkat ini justru berlalu dengan kesia-siaan belaka. Tanpa harga, tanpa makna, tanpa cita-cita. Hingga tiada bekal memadai untuk mengarungi kehidupan hakiki di akhirat nanti.
Lalu bekal apa yang mesti kita persiapkan di dunia untuk menuju kehidupan abadi tersebut? Dengan hartakah? Pangkatkah? Gelarkah? Atau keturunankah? Tentu saja bukan, sebab Allah Maha Kaya, Maha Berkuasa, Maha Suci lagi Maha Tinggi. Allah telah mengingatkan kita semua dalam firman-Nya: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (QS. Al-Baqarah: 197)
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hasyr: 18)
Bekal yang harus kita persiapkan tiada lain dan tiada bukan hanyalah takwa, karena takwa adalah sebaik-baik bekal dan persiapan. Sungguh naïf jika seorang tidak menyiapkan bekal apa-apa padahal dia sadar betapa panjang dan penuh rintangannya perjalanan yang akan dia hadapi di akhirat nanti. Hendaknya, dalam kehidupan yang sekejap ini, kita telah menyiapkan bekal ketakwaan yang cukup sehingga kehidupan akhirat menjadi lebih baik.
”Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS Al-An’aam ayat 32)
Rasulullah Saw dalam sabdanya juga banyak mewasiatkan ketakwaan kepada para sahabat dan umatnya. Di antaranya adalah dalam khutbah haji wada’, Abu Umamah al-Bahili meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Bertakwalah kepada Allah Tuhanmu, shalatlah lima waktu, berpuasalah pada bulanmu, bayarlah zakat hartamu, taatilah pemimpinmu, maka kamu akan masuk surga Tuhanmu.” (HR. At-Tirmidzi 1/190)
Mu’az bin Jabal juga meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada, timpalilah keburukan dengan kebaikan niscaya ia akan dapat menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi No. 1987, HR. Ahmad 5/153 dan al-Hakim 1/54).
Demikian pentingnya nilai ketakwaan agar wujud dalam diri seorang mukmin, sehingga Allah dan Rasul-Nya sangat menekankan hal tersebut dan menjadikannya sebagai syarat utama keselamatan di akhirat nanti. Lantas, bagaimanakah hakikat takwa itu yang sesungguhnya ?
Takwa secara bahasa artinya adalah al-shiyanah yaitu memelihara, al-hadzru yaitu hati-hati dan al-wiqayah waspada dan menjaga. Sedangkan secara istilah takwa berarti menjaga diri dari murka dan azab Allah dengan tunduk kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Para sahabat dan ulama terdahulu, telah memberikan pengertian yang cukup jelas tentang hakikat takwa dalam jiwa seorang mukmin. Diantaranya, dalam kitab Fathul Qadir karya Al-Syaukani dikisahkan, Khalifah Umar bin Khattab pernah ditanya tentang takwa, beliau menjawab, “Apakah engkau pernah melalui jalan yang banyak bertaburan duri?”. “Ya pernah” jawab si penanya. “Maka apa yang kamu lakukan?” Umar kembali bertanya. Penanya menjawab, “Saya akan berjalan dengan berhati-hati”. Lantas Umar berkata, “Seperti itulah takwa”.
Hasan al-Basri berkata: “takwa adalah berhati-hati terhadap yang diharamkan Allah dan melaksanakan kewajiban yang telah diperintahkan-Nya”. Dan Mujahid berkata: “Takwa kepada Allah artinya, Allah harus ditaati dan pantang dimaksiati, selalu diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.”
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa yang dimaksud sebenar-benarnya takwa adalah selalu taat kepada Allah dan berusaha untuk tidak berbuat maksiat, selalu berdzikir kepada Allah dan segera bertaubat, serta selalu bersyukur atas segala anugrah Allah. Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Islamuna” menerangkan bahwa takwa bermuatan keyakinan (akidah), pengabdian (ibadah), akhlak (adab) dan berbagai kebajikan (al-bir). Lebih lanjut dia mengatakan bahwa orang yang berhak menyandang sebutan “muttaqin” hanyalah orang yang mampu menahan dan mengendalikan hawa nafsu dan menjauhi semua hal-hal yang syubhat serta berani berjihad di jalan Allah. Sedangkan menurut Sayyid Qutub dalam tafsirnya—Fi Zhilal al-Qur`an—takwa adalah kepekaan hati, kehalusan perasaan, rasa khawatir yang terus menerus dan hati-hati terhadap semua halangan dalam kehidupan.
Jadi, esensi takwa adalah menghadirkan keagungan Allah swt di dalam hati dan merasakan kebesaran dan keMahaan-Nya, kemudian merasa takut terhadap murka-Nya sehingga berusaha sedaya upaya menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian, takwa bukan sekedar menjauhi dosa-dosa besar saja, tapi mencakup semua penyelewengan dan penyimpangan meski itu hanya kecil. Layaknya pendaki gunung yang tinggi, mereka tidak terlalu takut dengan ancaman batu-batu besar, karena batu-batu besar mudah dihindari. Mereka jauh lebih takut kepada kerikil-kerikil kecil yang masuk tanpa disadari ke dalam sepatu, sehingga kaki akan menjadi luka dan menyebabkan cedera parah di ketinggian gunung yang bersuhu rendah. Begitu pula seorang yang berusaha untuk menggapai derjat takwa, ia bukan hanya takut dengan dosa-dosa besar, namun ia lebih takut dengan dosa-dosa kecil yang kemudian berpeluang menggelincirkannya pada kemudharatan.
Di dalam Al-Qur’an, Allah telah memberikan gambaran tentang indikasi ketakwaan dalam diri seorang mukmin, agar kita mengetahui ciri-cirinya sehingga kita dapat mengevaluasi dan mengukur diri sendiri, sudahkah kita berada dalam derjat muttaqin atau minimal berusaha menggapainya. Antara lain indikasinya adalah:
Beriman kepada perkara yang ghaib (QS Al-Baqarah: 3)
Iman kepada yang ghaib mencakup keimanan terhadap semua berita yang disampaikan Allah dalam al-Quran dan melalui lisan Rasul-Nya, tentang hari kiamat dan kehidupan akhirat dengan segala fase-fasenya. Keyakinan akan adanya kiamat dan hari akhirat inilah yang menjadikan orang yang bertakwa senantiasa menjaga dirinya di dunia, agar selamat di akhirat kelak.
Menegakkan shalat (QS Al-Baqarah : 3 dan 177)
Shalat adalah sarana untuk mengingat Allah secara kontinyu, yang menjadi pembeda antara orang mukmin dengan kafir. Allah telah menetapkan waktu-waktunya bagi kita, dan memerintahkan untuk tidak melalaikannya. Menegakkan shalat bagi orang yang bertakwa tidaklah semata-mata demi menggugurkan kewajiban, akan tetapi lebih dari itu, ia merupakan komunikasi dengan Allah yang bersumber dari kekhusyukan, yang berimplikasi tercegahnya diri dari perbuatan keji dan munkar.
Mengeluarkan zakat dan infaq (QS Al-Baqarah : 3, 177; Ali Imran : 134; Al-Zariyat : 19)
Bagi orang yang bertakwa, anugrah harta yang Allah berikan adalah salah satu sarana untuk semakin dekat dengan-Nya. Ia sadar betul bahwa dalam harta yang dititipkan kepadanya, terdapat hak-hak orang lain, sehingga ia tidak akan merasa berat untuk menginfakkan sebagian hartanya baik ketika rizkinya lapang maupun ketika sempit.
Banyak mengingat Allah dan gemar bertaubat (QS Ali Imran : 135; QS Al-Zariyat: 17, 18)
Orang yang bertakwa pasti banyak mengingat Allah di setiap waktu, dalam segala keadaan. Ia mengingat Allah dengan segenap anggota badannya: dengan hati, lisan dan gerak-gerik organ tubuhnya. Ia juga senantiasa memperbaharui taubatnya dan memperbanyak istighfar terutama di waktu sahur/sebelum subuh, sehingga ia tidak berlarut-larut dalam kesalahan.
Menunaikan janji dan amanah (QS Al-Baqarah : 177)
Orang yang bertakwa jauh dari sifat melanggar janji dan mengkhianati amanah, yang merupakan sifat orang munafik. Adapun janji dan amanah yang paling agung adalah kesediaan dan kerelaan untuk beribadah kepada Allah, Rabb semesta alam. Ia juga selalu berusaha untuk menepati janji terhadap sesama manusia serta menunaikan amanah yang diembankan kepadanya.
Bersikap adil dalam segala urusan (QS Al-Maidah : 8)
Adil berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya, tidak mengurangi proporsi satu hak dengan melebihkan yang lainnya. Termasuk adil terhadap diri sendiri, dengan memberikan hak jasmani dan rohani sebagaimana mestinya. Keadilan juga harus diterapkan kepada semua manusia, sehingga kebencian pada seseorang atau suatu kaum tidak menghalangi berlaku adil kepadanya.
Bersabar terhadap berbagai musibah yang menimpa dirinya (QS Al-Baqarah : 177)
Orang yang bertakwa sadar bahwa semua yang ada di dunia adalah milik Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya. Ia tidak akan hanyut dalam kesedihan jika diuji oleh Allah dengan suatu musibah, namun menerima dengan lapang dada sembari menguak hikmah-hikmah Allah dibalik semua peristiwa. Malah ia menjadikan ujian sebagai batu loncatan meningkatkan kecintaan kepada Allah, Penggenggam alam semesta ini.
Pandai menahan amarah dan suka memaafkan (QS Al-Baqarah : 237; Ali Imran : 134)
Pengendalian diri dan hawa nafsunya adalah ciri orang bertakwa. Ia tidak mudah terjerat hasutan setan yang selalu mengobarkan amarah dan kebencian dalam jiwa bani Adam. Disamping itu, orang yang bertakwa juga suka memberikan maaf kepada orang lain yang berbuat kesalahan kepadanya, bahkan sebelum orang tersebut meminta maaf kepadanya.
Berdasarkan beberapa ciri di atas, jelaslah bahwa orang yang bertakwa selalu berusaha sungguh-sungguh berada dalam ketaatan kepada Allah secara menyeluruh, baik dalam perkara wajib maupun sunnah, berupaya meninggalkan kemaksiatan serta menghindarkan diri dari perkara yang tidak bermanfaat karena khawatir terjerumus ke dalam dosa. Semua inilah yang harus kita tingkatkan di hari-hari mendatang, agar waktu yang masih tersisa dalam setiap hembusan nafas kita, menjadi bekal berharga untuk mengarungi kehidupan abadi di akhirat nanti.
Demikianlah keistimewaan yang dikhususkan bagi orang yang bertakwa kepada Allah. Semoga kita mampu menempa diri meskipun letih dan tertatih, untuk meningkatkan kembali ketakwaan dalam diri. Dan perhitungan tahun baru ini, dapat menjadi ajang untuk membuka lembaran baru dalam sejarah hidup kita yang singkat ini, dan membangkitkan kembali semangat perjuangan memperbaiki diri. Dengan memulai hari baru, juga bisa menjadi langkah awal ketaatan yang menyeluruh dalan setiap perjalanan hidup kita ke depan. Karena, andai takwa itu tidak bersemayam dalam jiwa sedikitpun, lalu bekal apa lagi yang bisa kita andalkan menghadap Allah di akhir nanti.





0 Response to "Tahun Baru 1432 H Momentum Peningkatan Takwa"